Gunung Everest, puncak tertinggi dunia yang terletak di perbatasan antara Nepal dan Tibet, selalu menarik perhatian para pendaki dari seluruh penjuru dunia.
Cuaca ekstrem dan tantangan luar biasa menjadikannya salah satu destinasi pendakian paling menakutkan sekaligus paling diidamkan.
Di balik gemerlap prestasi para pendaki, ada satu kisah yang hampir terlupakan: kisah Clara Sumarwati, pendaki wanita pertama dari Indonesia yang menaklukkan Everest.
Clara Sumarwati, perempuan kelahiran Yogyakarta pada 6 Juli 1967, mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai pendaki Indonesia pertama yang berhasil mencapai puncak Everest.
Pada 26 September 1996, Clara berhasil mencapai puncak tertinggi dunia ini dan menjadi pendaki ke-88 yang berhasil melakukannya di tahun tersebut. Namun, meski prestasinya mengagumkan, namanya tak banyak dikenal di Indonesia.
Meskipun berhasil mencapai puncak Everest, Clara harus menghadapi keraguan dan ketidakpercayaan dari masyarakat Indonesia.
Banyak yang meragukan klaimnya karena kurangnya bukti fotografi atau video yang jelas. Pada masa itu, teknologi tidak semaju sekarang, dan mengambil serta menyimpan bukti pendakian adalah tantangan tersendiri.
Meski begitu, situs resmi Everesthistory.com mencatat Clara sebagai salah satu pendaki yang berhasil mencapai puncak pada tahun 1996.
“Kan di puncak Everest itu ada semacam tiang puncak, nah di foto Clara tidak ada itu. Saya sempat tanya dan dia bilang akan kasih, tapi sampai sekarang nggak dikasih-kasih juga. Akhirnya saya dengar katanya fotonya terbakar,” kata Ogun, salah satu pendaki pada zaman 1996 dilansir dari Detik.
Tahun 1996 juga dikenal dengan tragedi mengerikan yang disebut ‘1996 Mount Everest Disaster’, di mana 22 pendaki meninggal dalam kondisi cuaca buruk pada bulan Mei.
Kejadian ini membuat banyak orang semakin meragukan kemampuan Clara untuk mencapai puncak di tahun yang sama. Namun, Clara mendaki pada akhir September, ketika kondisi cuaca sudah membaik.
Ketidakpercayaan yang diterima Clara bahkan membawanya pada tekanan mental yang berat. Ia sempat dirawat di rumah sakit jiwa di Magelang akibat stres yang dialaminya.
Namun, Clara tetap teguh dengan pengakuannya dan menunjukkan sertifikat serta foto yang ia miliki sebagai bukti pendakiannya.
Clara juga menceritakan bahwa ia mendaki bersama tim yang terdiri dari 12 orang, termasuk pendaki lain dari Indonesia, Gibang Basuki dari Persatuan Pendaki Gunung Angkatan Darat (PPGAD) Kopassus.
Sayangnya, Gibang Basuki tidak berhasil mencapai puncak dan harus turun karena kondisi kesehatan yang buruk.
Sebelum mencapai Everest, Clara sudah memiliki pengalaman mendaki di berbagai gunung tinggi dunia, seperti Aconcagua di Argentina dan Annapurna di Nepal. Pengalaman ini menjadi modal besar bagi Clara untuk menaklukkan Everest, meskipun tidak mendapat pengakuan yang layak di tanah airnya.
Clara Sumarwati adalah pahlawan yang nyaris terlupakan dalam sejarah pendakian Indonesia. Kisahnya mengajarkan kita tentang keteguhan dan keberanian dalam menghadapi tantangan, serta pentingnya menghargai prestasi seseorang, meskipun bukti yang ada mungkin tidak selalu sempurna.
Kini, meski namanya tidak sepopuler pendaki lain, Clara tetap menjadi inspirasi bagi banyak pendaki wanita di Indonesia dan Asia Tenggara. Mari kita memberikan penghargaan yang layak untuk Clara, sang pendaki Everest wanita pertama dari Indonesia.***